Lebaran Terakhir

Sabtu, 5 April 2025 16:57 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Hutan Kabut Gelap Pohon Alam
Iklan

Simbah tersenyum, suara bedug lirih, tapi yang mukul bukan manusia.

Oleh: [email protected]

Malam takbiran kali ini, aku dan keluargaku mudik ke rumah simbah di desa kecil yang jauh dari kota. Rumah itu tua, dindingnya dari kayu jati yang mulai lapuk, dan lampu-lampunya berpendar temaram. Setiap tahun, kami selalu berkumpul di sini, tapi entah kenapa tahun ini terasa berbeda. Suasana rumah ini lebih sunyi dari biasanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saat aku turun dari mobil, aku melihat sosok Simbah berdiri di teras rumah. Matanya sayu, kulitnya keriput, dan bibirnya menyunggingkan senyum aneh. "Sugeng rawuh, Cah bagus," sapa Simbah dengan suara serak. Aku mengangguk pelan, merasakan hawa dingin yang merayapi tengkukku.

Malam itu, setelah Shalat Isya, aku berjalan-jalan di sekitar rumah. Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga kenanga yang menusuk hidung. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki menyeret di belakangku. Ketika aku menoleh, tak ada siapa-siapa.

"Ah, mungkin angin," gumamku.

Aku kembali ke rumah dan mendapati saudara-saudaraku sudah berkumpul di ruang tamu. Namun, entah kenapa, wajah mereka terlihat pucat dan gelisah. "Kowe ngerasakke sing aneh ra?" bisik salah satu saudaraku, Arif.

 

"Opo maksude?" tanyaku heran.

 

"Tadi aku ndelok Simbah di dapur, tapi aneh, wong Simbah bar mau tidur nang kamar," jawabnya dengan suara bergetar.

 

Jantungku mencelos. Baru saja aku melihat Simbah di teras beberapa jam yang lalu. Aku segera berlari menuju kamar Simbah. Kubuka pintunya perlahan, dan di dalam, Simbah sedang tidur membelakangiku. Namun, ada sesuatu yang janggal. Bau busuk menyengat keluar dari tubuhnya. Saat aku mendekat, tangannya bergerak-gerak kaku, seperti mayat yang mulai kaku.

 

Aku berbalik, hendak memanggil orang lain, tapi—

 

DHAKK!

 

Pintu kamar menutup sendiri dengan keras! Lampu berkedip-kedip, dan di cermin dekat tempat tidur, aku melihat bayangan Simbah berdiri di belakangku. Namun, wajahnya mengerikan: matanya kosong, mulutnya sobek hingga ke pipi, dan tubuhnya seperti mengelupas.

 

"Wis wayahe, Cah bagus…" suaranya menggema dalam kepalaku.

 

Aku menjerit, dan tiba-tiba semuanya gelap.

 

 

---

 

Aku terbangun di kasur dengan keringat bercucuran. Suasana di luar masih gelap, suara takbiran menggema dari masjid. Aku bangkit dengan napas tersengal-sengal. "Mimpi?" tanyaku dalam hati.

 

Aku keluar kamar, dan melihat ibuku sedang duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kesedihan.

 

"Ibu, Simbah di mana?" tanyaku.

 

Ibuku menatapku dengan mata berkaca-kaca. "Nak… Simbah sudah meninggal sebulan yang lalu…"

 

Jantungku seakan berhenti berdetak.

 

"Tapi tadi aku… aku melihat Simbah… berbicara dengannya…"

 

Ibuku menggeleng. "Itu pasti bukan Simbah…"

 

Aku teringat senyum anehnya, tubuh kaku itu, dan bisikan yang menggema di kepalaku. Lututku melemas. Di luar, takbiran masih berkumandang, tapi rasanya seperti gema dari dunia lain.

 

 

---

 

Keterangan bahasa Jawa:

 

Sugeng rawuh: Selamat datang.

 

Cah bagus: Anak yang baik (sering digunakan untuk memanggil anak laki-laki).

 

Kowe ngerasakke sing aneh ra?: Kamu merasakan sesuatu yang aneh tidak?

 

Opo maksude?: Apa maksudmu?

 

Aku ndelok: Aku melihat.

 

Wong Simbah bar mau tidur nang kamar: Padahal Simbah baru saja tidur di kamar.

 

Wis wayahe: Sudah waktunya.

 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Azki Faishal

Penulis Artikel dan Cerpen

0 Pengikut

img-content

Lebaran Terakhir

Sabtu, 5 April 2025 16:57 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler